“Jangan jadi pemain bola!” ujar ibu saya, saat saya meminta untuk dimasukkan ke sebuah sekolah Sepakbola “Jadi atlet Sepakbola gak ada duitnya,” ujar ibu saya lagi sembari mengunci segala permintaan masa kecil saya untuk sekedar ikut bersekolah Sepakbola di sebuah lapangan tak jauh dari rumah kami. Ibu saya tidak salah, ia bukannya tidak sayang pada saya. Sebaliknya, Ibu saya sangat mencintai saya sampai ia tidak rela “melihat” anaknya suatu hari nanti kesusahan materi.
Saya tentu tidak sendirian mengalami hal seperti ini. Seperti kebanyakan orang tua di Indonesia, secara umum memang keberatan jika anaknya memilih karir yang dirasa tidak umum. Menjadi atlet atau seniman adalah pilihan hidup yang dianggap tidak sesuai “Karena dua hal itu bukan pekerjaan, tapi cukup dijadikan hobi,” ujar orang tua Kelik, teman saya, kalimat senada ini saya dengar bertahun kemudian saat saya sudah masuk bangku SMA.
“Jika kamu memang ingin menjadi pesepakbola, maka Eropa lah tujuan kita,” ujar Martin Almeida pada anaknya Joao Cesar yang sangat hafal bagaimana memainkan si kulit bundar dengan baik. Kalimat ini saya dengar jauh setelah rentetan dua larangan diatas tadi, saat saya sudah melihat banyak hal di dunia dan semakin memahami apa masalah terbesar bagi kebanyakan orang kita.
Martin dan ibu saya atau orang tua Kelik tadi adalah tiga orang tua yang masing-masing merepresentasikan bagaimana orang tua melihat jauh ke depan. Tak ada yang salah dan tak ada juga yang paling benar, karena bingkai latar yang dimiliki oleh ketiganya memang berbeda. Tapi saya bisa menyimpulkan, bahwa ibu saya dan ayah teman saya itu adalah representasi kebanyakan masyarakat Indonesia…..bahkan sampai saat ini.
Orang Indonesia kebanyakan mengenal Indonesia sebagai sebuah negara yang luas, kaya raya, disegani, terletak di sebuah persimpangan besar lalu lintas dunia dan tentu saja sebuah negara yang menjadi tolok ukur kehebatan dari bangsa-bangsa dunia. “Indonesia sangat kaya, tak heran banyak bangsa ingin menjajah kita,” demikian kata Kepala Sekolah saya saat SMA dulu. Ia berulang kali memperkenalkan kami pada rasa patriotisme itu dengan terus berkata “Betapa pentingnya negeri ini di mata asing,” kesimpulan saya dan hampir semua teman saat itu……Indonesia adalah pusat dunia dan negara yang sangat penting.
Nyatanya tak banyak yang mengenal Indonesia, praktis hanya sedikit berita yang bisa menyajikan Indonesia seperti yang kita kenal. Selain segala berita derita macam tsunami, ledakan bom, terorisme sampai video sex Ariel-Luna-Cut, praktis dunia luar sama sekali tidak mengenal kita seperti apa yang kita kenal.
Sebaliknya, kita pun tidak pernah benar-benar mengenal dunia. Apa yang kita tahu tentang dunia luar adalah apa yang kita lihat dari media barat, baik internet maupun sinema. Kita mempercayai segala nilai budaya asing dari produk sinema asing juga. Jadilah kita percaya bahwa Amerika selalu menang perang, Inggris gentleman, Jerman kaku, Korea kasar-kasar sampai bahwa Afrika masih primitif.
“Afrika Selatan adalah negeri paling tidak aman di dunia,” demikian tulis banyak media. Saat menulis artikel ini, saya berjarak 3 hari dari pertama kali menginjakkan kaki di negeri itu. Yang saya dengar, di Afrika kejahatan sering terjadi, setiap rumah diberi pagar listrik, lewat pukul 21.00 jalanan sepi yang dilanjutkan dengan aksi kekerasan, kabarnya juga orang kulit hitam sering melakukan penodongan di jalanan. Saya mendengar itu, tapi yang saya tahu pasti negeri itu sedang menyelenggarakan Turnamen Terbesar di Dunia, Piala Dunia 2010, lewat televisi setiap hari saya lihat orang berpesta, fanzone yang bagus dan lain-lain.
Saat pertama menjejakkan kaki di Nairobi, orang pun berkata “Hati-hati dengan Afrika, orang kulit hitam curang-curang,” ujar pegawai Kedutaan Besar Indonesia di Jerman saat tahu saya akan berangkat ke Kenya. Nyatanya saya menemui orang-orang yang ramah, orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan dan merasa bahwa seharusnya ada ikatan antara bangsa Asia Timur Jauh dengan Afrika. Saya lalu merasa bahwa segala anggapaan stereotype kita telah dibentuk oleh media asing yang sebenarnya juga menulis banyak hal negatif tentang negeri saya.
Kita lalu terjebak pada percaya tanpa pernah berani melihat sendiri apa yang terjadi di negeri orang. Bangsa kita merasa tahu segala hal hanya dengan melihat garis luar. Itu sebabnya kita tidak pernah ada di peta dunia, saat mereka berpikir untuk mengarungi bagian lain dunia….kita terus merasa bahwa kita sudah cukup hebat dan tak perlu tahu apa-apa lagi. Well, negeri kita memang subur….tapi siapa sih sebenarnya pemilik sumber daya alam-sumber daya alam itu?
Sukarno pernah sangat menginginkan Papua, karena ia tahu potensi luar biasa pulau itu. Ia juga dengan cerdik berhasil memasukkan Aceh menjadi bagian dari Republik, dengan segala kemampuannya, ia juga berhasil mempertahankan Sumatera agar tetap bersatu dengan Indonesia. Dengan alasan kesatuan Nusantara, Sukarno sebenarnya sedang berusaha menyatukan segala potensi alam yang luar biasa itu. Kini…..berpuluh tahun kemudian, segalanya hilang tanpa kita sendiri pernah merasakannya. Sukarno lupa bahwa bangsanya butuh kemakmuran bukan sekedar kebanggaan semu, penerusnya sibuk menjuali segala potensi itu dan generasi terkini diberi warisan kisah-kisah hebat yang kita sendiri tidak pernah rasakan.
“Dimana tuh Indonesia?” adalah pertanyaan standar yang diberikan oleh teman-teman yang baru saya kenal di Eropa. Lalu saya harue menjelaskan dimana tepatnya posisi negara ini dan jika perlu membuka peta dunia dan memamerkan ukuran negeri ini yang jauh lebih besar dari ukuran negara mereka.
“Lalu, bagaimana kamu bisa sampai tahu Indonesia?” malam itu saya dan Jasko Kangas sedang menikmati dinginnya bir di sebuah bar di kota Helsinki. Jasko adalah orang Finlandia, negeri yang nun jauh…..tapi Jasko telah ke Indonesia nyaris setiap tahun sejak tahun 1994. “Saat itu saya sedang berada di Thailand, saya sudah menelusuri negeri itu setelah sebelumnya Vietnam, Kamboja dan Laos,” mulailah ia bercerita tentang perkenalannya dengan negeri saya yang keren ini.
“Setelah sebulan, saya ingin melihat daerah baru, tapi tidak tahu kemana, saat itu saya bertemu dengan 2 backpacker lain asal Australia,” Jasko lalu menjelaskan dengan rinci bagaimana 2 orang itu menyarankan ia untuk melewati saja Malaysia, karena ada kepulauan di seberangnya yang lebih indah. “Pulau? Saya sudah melihat banyak pulau kecil di dekat sini,” responnya pada 2 Aussie itu. “Kepulauan ini beda, ukurannya besar-besar dan luar biasa,” maka ditunjukkanlah peta Indonesia yang dominan di Asia Tenggara itu.
“Besoknya, dengan berbantalkan ransel besar itu, saya sudah berada di sebuah kapal kecil di sungai pulau Sumatra….saya memandangi langit yang terang dan indah, sebuah negeri yang saya kira tak ada,” lalu dimulailah pengembaraannya menembus Sumatra, Pulau Jawa sampai ke Sumbawa. Inilah perkenalan pertama Jasko dengan Indonesia dan dia bukan satu-satunya orang Eropa yang tidak tahu dimana letak negeri ini di peta dunia.
Menjadi Indonesia adalah juga menjadi bagian dari dunia, menjadi bagian dari pergaulannya dan bukan hanya menjadi bagian dari peta besar yang dituliskan dan dipajang di ruang-ruang kelas. “Kekayaan alam telah membuai kita,” ujar alm. Nurcholis Madjid suatu ketika jauh saat saya masih SMA “Seperti orang Yunani yang masih terkesima dengan pencapaian masa silamnya, kita juga demikian,” ujarnya menjelaskan bahwa kita sama sekali tidak pernah mundur “Bangsa ini berjalan ditempat, sementara bangsa lain berlari,”
Kita memang terbuai dan seolah tidak bergerak kemana-mana, karena saat mereka sudah membicarakan migrasi antar planet dan coba memvisualisasi kiamat…..kita masih sibuk meributkan moral, budaya bangsa dan segala hal yang menyempitkan itu.
No comments :
Post a Comment